Aku Mau Jadi Pejalan yang Menemukan Tuhan-Nya
Aku jatuh cinta dengan gunung, meski tak sering mendaki. Bagaimana bisa? Menjiwai dan mengalaminya beda, bukan?
Seseorang yang mengalami tidak selalu menjiwai. Tapi mereka yang sekali mengalami dan menemukan hakikatnya akan memiliki.
Aku teringat dengan Soe. Demonstran sejati tahun enam puluhan yang berhasil menurunkan Soekarno dari tahtanya. Yang hidupnya diwakafkan di jalan-jalan sambil mengkritik kehidupan para politisi yang sampah. Seorang anak muda yang menginspirasiku untuk selalu kembali mengingat gunung. Ia memahami gunung sebagai hamparan kasih sayang Tuhan bagi mereka yang muak dengan kehidupan.
Pandangan seseorang tentang gunung tentulah berbeda-beda. Ada yang sekedar ingin menaklukkannya karena keindahannya. Ada yang menjadikan perjalanan menujunya sebagai cara untuk menemukan batas diri. Dan aku selalu meyakini bahwa semakin jauh dan tinggi tempat seseorang buang penat berbanding lurus dengan tingkat stresnya. Aku seperti halnya Soe memilih gunung sebagai tempat untuk mengembalikan energi positif yang hilang dikeramaian kehidupan yang menyesakkan dada ini.
Gunung yang kusebut sebagai bumi yang sederhana. Tempat orang-orang sederhana merindukan kehidupan yang sederhana, yang apa adanya. Itulah gunung bagi mereka yang putus asa dengan kemewahan yang palsu.
Gunung selalu berhasil menempa manusia menjadi utuh kembali. Tentu bagi mereka yang mencintai tanpa tapi. Bukankah di gunung, saat hidup hanya bergantung pada keajaiban, kita menemukan kembali Tuhan? Kita memuji-Nya dalam keadaan tak punya tempat bergantung kecuali Ia yang maha memberikan kehidupan bagi yang putus asa hidup. Di gunung kita belajar tawakkal. Dan di gunung kita memahami hakikat Tauhid yang sesungguhnya.
Pengalaman pertamaku soal gunung adalah saat mendaki bukit pergasingan dengan ketinggian 2700 mdpl pada tahun 2015. Waktu itu aku belum tahu kalau gunung selalu bisa menjawab isi hati manusia. Di menit ke lima belas aku sempat bilang ke temanku "aku takut kalau aku tidak kuat", mengingat kondisi kesehatanku saat itu tidak mendukung. Namun seorang teman menegurku, "jangan bilang tidak kuat", "kalau capek kita istirahat". Saat dipertengahan pendakian benar aku hampir pingsan. Akhirnya seorang teman menyarankan untuk istirahat. Disebabkan oleh penyakit lamaku yang kambuh lagi, sesak napas akut. Namun syukurna adalah aku dibantu tekhnik pernafasan oleh temanku dan cukup efektif.
Setelah pernafasanku kembali normal aku si kepala batu ini yang sebelumnya berpikir untuk tidak melanjutkan perjalanan memutuskan untuk tetap melanjutkan dengan keadaan sulit bernafas dan harus sering break. Perjalanan yang mestinya hanya membutuhkan waktu dua jam menjadi lebih lama karena harus sering istirahat dan mengkondisikan kesehatanku.
Pada akhirnya aku tidak hanya ingin mengatakan bahwa di gunung kita kenal teman yang sejati, di gunung kita kenal hati yang sulit bersabar, di gunung kita merasakan nikmatnya ibadah setelah lelah yang hakiki, di gunung kita memeluk Tuhan kita, dan di gunung kita tahu siapa diri kita. Lebih dari itu, gunung selalu berkonspirasi mengaminkan doa-doa yang dipanjatkan, atau bahkan sekedar persepsi kita tentang diri kita sendiri. Seorang teman mengatakan padaku saat sebelum mendaki, " jangan pernahengatakam tidak kuat. Bilang saja butuh istirahat", karena apa-apa yang terucap akan diaminkan oleh gunung. Gunung hanya mengantarkan langkah orang-orang yang yakin.
Aku pikir pelajaran ini juga berlaku di segala kondisi.
19
Komentar
Posting Komentar