Sebuah Perjalanan
First day, 27 April 2018
Di perjalanan dari Pare menuju Yogyakarta aku terbangun di pukul 01.30 dini hari. Dalam upaya menghadirkan kembali kantuk aku merenungi sepenggal kisah seorang anak alam. Ia lah Soe. Soe hok Gie. Anak muda yang menjunjung tinggi idealisme di tengah kebobrokan politik bangsa. Entah apa yang mendorongku. Akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktu untuk menyelesaikan lembaran cerita tentangnya. Mencari-cari letak keistimewaan dan mencocokkannya dengan diriku. Pada akhirnya aku menemukan kesamaan bahwa aku dan ia sama-sama pengagum alam dan selalu memilih alam untuk menumpahkan kekecewaan pada dunia.
Aku menemukan nilai yang tak sebatas teks-teks basi dari sepenggal cerita hidupnya, yaitu tentang persahabatan, kegagalan cinta, perjuangan politik, kehidupan mahasiswa, pers, dan segala yang mengaitkannya dengan mandalawangi.
Kehidupan kampus memang kehidupan paling romantis dalam sejarah umat manusia, dimana setiap orang selalu punya idealisme masing-masing, namun tatkala mereka berhadapan dengan realita dan diberi iming-iming hidup enak, maka lenyaplah idealisme dan nilai-nilai yang selama ini diyakini. Mereka berubah menjadi manusia pecicilan dan bangsat kelas elit.
Tapi kau beda Soe...
Nilaimu sama sekali tak luntur. Kisah kau yang mengirimkan gincu dan pupur kepada kawan-kawan seperjuanganmu di almamater setelah mereka disuap dengan kemewahan oleh pemerintah yang tak tahu moral begitu istimewa dan lucu untukku.
"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan, " begitu penggalan kata-katamu yang telah menyusup ke relung jantungku.
Terimaksih Soe...
Terimakasih telah mengisi masa mudaku
Malam ini begitu syahdu
Suara lambaian pohon yang tertiup angin berjejer di sepanjang jalan
Aku bertemu dengan rembulan yg baru saja kalah perang
Ia cantik tapi tidak memukau
Jadikan aku pecinta sejati sepertimu Soe...
Ajarkan padaku bahasa alam
.
.
.
Sekali lagi
Komentar
Posting Komentar