Yogyakarta II

Kata, Kata, Kata
Al-Mukarrom Umbu Landu Paranggi

Yang akan mengawali kisah hari ini

...

Kenangkanlah gumam pertama
Pertemuan tak terduga
Di suatu kota pantai
Di suatu hari kemarau
Di suatu keasingan rindu
Di suatu perjalanan biru

Kenangkanlah bisikan pertama
Risau pertarungan kembara
Duka percintaan sukma
Rahasia perjanjian sunyi

Kenangkanlah percakapan pertama
Gugusan waktu, napas dan peristiwa
Mungkin hanya angin, daun dan debu
Pesona terakhir nyanyian sajakku

Yogyakarta, 28 April 2018

Angka yang unik bukan?
Pijakan keduaku di kota ini setelah 2015 lalu. Aku berakhir di pinggiran rel kereta api dengan barang bawaan yang rempong serta perut keroncongan bersama sahabat lamaku, Anis. Aku tak suka moment seperti ini.
"Ah Yogya...mengapa sambutanmu seperti ini?"
Tanyaku dalam hati yang sedang mencoba mendamaikan terik. Suhu udara kali ini sangat tak bersahabat. Panas, polusi bercampur menjadi satu. Aku mengeluh sekian waktu.

Finally...senyum di wajahku segar kembali tatkala aku melihat sebuah pemandangan indah yang ada dia depan mata. Seorang anak berusia kira-kira dua tahun sedang melambaikan tangan saat melihat kereta berlalu di depannya
Evidently...seorang anak juga memahami arti perpisahan.
Ku abadikan pemandangan itu melalui kamera HP

Yogyakarta. . .
Sejatinya tak ada yang terlalu istimewa seperti namanya. Hanya keunikan bangunan-bangunan kota dan keramahan manusianya. Malam ini aku ditemani amelia, dua sahabat kembar afif-afib,  dan sabrina mengelilingi icon kota Yogyakarta; o km, alun-alun kidul dan masjid kauman. Yogya terlihat lebih rame dari biasanya. Kemacetan di mana-mana. Aku sempat sesak dada karena suara klakson kendaraan. Meski begitu aku masih bisa memandangi sudut kota Yogya dengan perasaan syukur dan kagum. Syukur karena akhirnya aku dapat kesempatan dari Tuhan untuk melihat arsitektur masjid kauman. Masjid bersejarah bagiku. Karena di situlah seorang Joesti Gazali pernah beri'tikaf hingga Tuhan pun memberi ilham padanya dan lahirlah PII. Pelajar Islam Indonesia. Organisasi di mana aku dilahirkan hingga mengecap manisnya dakwah dan kecintaan pada islam. Yogya memang unik. Unik karena kota inilah yang menjadi icon pendidikan dan budaya. Banyak organisasi-organisasi besar lahir di sini, banyak peristiwa-peristiwa bersejarah terjadi di sini, bahkan seniman dan sastrawan besar seperti Affandi, Cak Nun pun besar di sini . Aku jatuh cinta pada kota ini karena ia mengajarkan padaku arti kesederhanaan, perjuangan, dan cinta budaya. Aku suka melihat andong di sepanjang jalan alun-alun, aku suka mendengar musik gamelan, aku suka melihat permainan wayang kulit, aku suka melihat orang memakai songkok, dan segala atribut budaya indonesia.
Dan itulah...
Itulah ceritaku
Cerita tentang jatuh cintanya aku pada Yogyakarta
.
.
.
Sekali lagi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayakan

Aku Mau Jadi Pejalan yang Menemukan Tuhan-Nya

Alangkah Mirisnya Negeriku