A Jump Of Idea


Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama-buruh dan pemuda, bangkit dan berkata--stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun.
Dan para politisi di PBB, sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras buat anak-anak yang lapar di tiga benua, dan lupa akan diplomasi.
Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun, dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Tuhan—saya mimpi tentang dunia tadi. Yang tak pernah akan datang.
_Soe Hok Gie_

Akhir-akhir ini aku terus berpikir tentang kehidupan yang tak satu makhluk pun mengerti sudah sejauh mana lompatan perubahannya selain Tuhan yang maha ‘alim. Manusia baru jebolan gadget ini sudah muak dengan konflik  suku, ras, maupun  agama, apalagi soal kemanusiaan. Mereka telah banyak belajar sekaligus mendendam dan tak lagi menjadikan perbedaan sebagai potensi lahirnya konflik.

Yang menjadi persoalan mendasar sekarang adalah soal “perut”. Kelaparan akibat dari minimnya cadangan air bumi telah membuat geger perekonomian dunia. Negara-negara super power mulai mengincar negeri-negeri yang kaya dan subur akan alam, termasuk Indonesia dengan tingkat ketegangan di bawah rata-rata. Mereka para Asing itu telah menjual kepentingan, sedang  pemerintah yang kita pilih tiap periode ini berhasil membeli kemiskinan.
Kita memang tidak pernah menang terhadap kepentingan bangsa lain.

Semua begitu cepat berubah seolah-olah manusia yang dikaruniai kemampuan memproduksi yang maha dahsyat ini tak lagi mengerti dan mampu mengikuti sejauh mana efek dari perubahan yang diciptanya. Ini 2018 yang mengerikan. Suhu udara maupun politik negara semakin tak terkira panasnya. Sebentar lagi memasuki 2019 yang identik dengan tahun politik. Aku tidak bisa membayangkan berapa juta kejahatan yang akan ditimbulkan oleh manusia Indonesia yang katanya menjunjung tinggi keadilan dan demokrasi.
Setiap orang selalu membawa kepentingan dan saling berebut tempat di tengah-tengah masyarakat. Sejujurnya aku bertanya-tanya apa spesialnya menjadi yang selalu dipandang, apa spesialnya duduk dengan mereka yang pembicaraannya begitu rumit. Alih-alih yang diperbincangkan adalah soal siapa yang kalah dan menang, berapa untung dan rugi. Memang selalu berputar pada soal-soal itu.

Beberapa hari ini aku tenggelam dalam kegalauan akan kegilaan yang terjadi pada perpolitikan di negeri ini, lebih-lebih kebodohan yang dipertontonkan oleh masyarakatnya. Rasa-rasanya memang manusia sekarang tidak ada lagi yang memiliki sense of social, terlebih untuk melek pada soal-soal kemanusiaan. Yang di atas sibuk saling mendebat, yang di bawah saling baku hantam hanya karena harga diri konyolnya diinjak-injak. Memang hanya sampai di situ nilai diri masyarakat kita.

Baru-baru kemarin moral generasi muda Bima dibuat kacau oleh pemilihan Wali Kota dan Gubernur. Perang adu fisik dan hampir-hampir saja adu senjata yang terjadi di sepanjang jalan Soekarno Hatta setelah beberapa jam usai pemilu. Mengerikan memang. Beberapa mengalami luka parah sampai dilarikan ke Rumah Sakit. Aku pikir apa untungnya berbuat begitu kalaupun setelahnya rakyat hanya akan terus dikhianati.

Belum usai perenunganku aku kembali dibuat geger oleh beberpa pamphlet yang ditempel di tembok dan pagar-pagar rumah. Isi pamphlet tersebut lebih kurang seperti ini, “sekarang yang muda yang memimpin” . Di samping slogan tersebut terdapat foto seorang anak muda yang aku kenal betul siapa, ia adalah teman sekolahku dulu. Shock sekaligus miris. Memang tidak ada kalimat yang negative, bukan juga meragukan kapasitasnya, tapi apa jadinya jika negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang tak paham soal politik dan negeri. Alih-alih memikirkan soal bangsa menghadapi cinta segi tiga saja mereka galau sampe kurang tidur.
Aku tak yakin mereka bahagia. Yang aku tahu mereka hanya akan dijadikan boneka untuk kepentingan orang-orang yang ada di belakang layar atau setidaknya mengambil untung materi setelah menjual kesejahteraan rakyat  banyak demi kepentingan partai yang mereka goalkan.

Kita memang tidak selalu hidup di dalam comfort zone. Kadang-kadang saat hidup terasa manis kita begitu bangga dengan idealisme yang kita punya sampai-sampai menghujat para politikus yang sering kali menjual nilai dan martabat diri. Namun sering kali saat dihantam realita  rasa-rasanya memang kita akan selalu menjilat ludah sendiri. Aku jadi teringat kata-kata seorang demonstaran sejati. Soe Hok Gie. Dalam catatannya ia pernah berkata, “I am not an idealist but I am a bitter realist. Aku akan berkata kepada Soe bahwa kata-katanya itu pantas diperuntukkan bagi setiap orang, bukan hanya ia sendiri.

Akhirnya aku akan menyelesaikan tulisan ini dengan sebuah Tanya
Untuk apa semua yang kita perjuangkan ini ?
Wahai dunia yang aduhai kerasnya!

Kota Bima, 23 Juli 2018

Nina

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayakan

Aku Mau Jadi Pejalan yang Menemukan Tuhan-Nya

Alangkah Mirisnya Negeriku